06 June 2008

Filled Under:

Sistem Syirkah dalam Bisnis Syariah

Bagaimana sebetulnya bentuk dan aplikasi bisnis syariah itu? Apa yang membedakannya dengan praktek bisnis saat ini dan mengapa harus syariah? Begitu kira-kira lontaran yang kerap keluar dari banyak orang dalam berbagai kesempatan. Pada kesempatan ini saya mencoba menjelaskan pemahaman saya tentang praktek bisnis tersebut. Tulisan ini merupakan pemahaman yang saya kaji dan praktekkan bersama sahabat-sahabat saya di Syafa’at Advertising. Juga saya terapkan di Spiritual Leadership Training and Education Center (SLTEC).

Syirkah atau perseroan dalam bahasa Indonesia memiliki makna penggabungan dua atau lebih yang tidak bisa lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Dalam istilah syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih, dimana mereka saling bersepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dan mendatang keuntungan (profit).

Hukum syirkah sendiri adalah boleh (hubah/halal) sebagaimana kebolehan kita makan, minum dan lain-lain sejauh tidak ada hal yang melarangnya (mengharamkannya di dalam Qur’an maupun Sunnah). Hal ini mendasarkan pada diamnya (Taqrir) Rasul saw pada syirkah yang di lakukan oleh para sahabat kala itu. Dalam hukum Islam, diamnya Rasul saw berarti pengakuan dan kebolehan (tidak dilarang tapi juga tidak diharuskan).

Imam Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw yang bersabda: Allah Ta’ala berfirman:
“ Aku adalah ketiga dari dua orang yang bersekutu, selagi salah seorang dari mereka berdua tidak mengkhianati kawannya. Tapi kalau dia berkhianat, aku keluar dari mereka”.


Sebagaimana mua’amalah lainnya, syirkah boleh dilakukan baik antara sesama muslim maupun dengan orang Nasrani, Majusi dan Kafir Dzimmi. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan:

“Rasulullah saw telah mempekerjakan penduduk Khaibar (padahal mereka orang-orang Yahudi) dengan mendapat bagian dari hasil panen buah dan tanaman”.


“Rasulullah saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi, lalu beliau menggadaikan baju besi beliau kepada orang Yahudi tersebut”. [HR. Imam Bukhari dengan sanad dari Aisyah].

Adapun rukun syirkah menurut jumhur ulama ada tiga : [1] Shighat/aqad (ijab dan kabul), [2] Pihak yang beraqad, dan [3] Usaha. Sedangkan syarat sah dan tidaknya akad syirkah amat ditentukan oleh sesuatu yang ditransaksikan, yaitu sesuatu yang bisa dan boleh (halal) ditransaksikan.

Bentuk dan Jenis Syirkah
Terdapat dua bentuk syirkah, yaitu syirkah hak milik (syirkatul amlak) dan syirkah transaksi (syirkatul uqud). Syirkah hak miliki adalah syirkah terjadi karena adanya harta pusaka, pemberian atau wasiat, dimana terdapat lebih dari seorang ahli waris atau penerima wasiat. Sedang syirkah uqud adalah syirkah yang terjadi dengan mengembangkan hak milik seseorang. Pembahasan kita saat ini adalah syirkah yang kedua ini, yaitu syirkatul Uqud.

Ada lima jenis syirkah dalam syirkatul uqud yang bisa kita pilih untuk merealisasikan rencana bisnis kita secara syariah:

1. Syirkah Inan. Ini adalah bentuk kerjasama bisnis yang dilakukan dua orang atau lebih, dimana masing-masing menyertakan harta (modal) dan sekaligus juga menjadi pengelolanya (tenaga), kemudian keuntungannya dibagi diantara mereka berdasarkan kesepakatan. Jika mengalami kerugian, maka kerugiannya akan ditanggung bersama berdasarkan proporsional modalnya.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !