26 March 2008

Filled Under:

Tanggung Jawab Pedagang Terhadap Agama

Namun keteladanan Nabi dalam berdagang tidak berhenti pada aktivitas jual beli.

Muhammad as A Trader (Muhammad seorang pedagang). Demikian tulis Afzalurrahman dalam Encylopaedia of Seerah. Pernyataan ini tidak berlebihan. Sebab, jauh sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau menjalankan aktivitas perdagangan (trading). Mulanya semasa anak-anak, beliau berdagang bersama pamannya Abu Thalib. Ketika memasuki masa pemuda, beliau berdagang secara mandiri dengan membawakan barang dagangan beberapa hartawan, termasuk milik janda kaya Khadijah yang belakangan menjadi istrinya. Beberapa kota yang didatangi Muhammad adalah Syam (Syria), Jorasy (Yaman) dan Tihamah (Habasyah), Bahrain, Irak, Nejd dan Najran. Beliau juga aktif berdagang di Pasar Ukaz dan Zul Majaz, dan pasar lain di Kota Makkah dan sekitarnya.

Ini menunjukkan, Nabi Muhammad memang seorang pedagang profesional. Beliau terkenal sebagai trader yang jujur (siddiq) dan tepercaya (amanah), sehingga banyak orang mempercayakan modal dan barang dagangannya kepada Nabi. Baru memasuki usia 40 tahun menjelang diangkat sebagai Rasul, beliau mengurangi aktivitas dagangnya dan lebih banyak bertahanuts di Gua Hira. Setelah diangkat sebagai Rasul beliau konsentrasi berdakwah, sebab sudah banyak karyawan yang menjalankan dagangan. Beliau bersama istri hanya sebagai manajer.

Meskipun tidak lagi terjun langsung berdagang, dengan misi kerasulannya beliau berhasil menetapkan prinsip dasar perdagangan. Banyak sekali hadits beliau tentang dagang, jual beli, sehingga dalam banyak buku fikih selalu ada pokok bahasan kitab al-buyu’, berisi seluk beluk perdagangan, perserikatan dan kontrak kerja dalam berbagai bentuknya. Beliau juga menerangkan berbagai praktik tercela dalam perdagangan seperti penimbunan, penipuan, percampur-adukan barang baik dan buruk, riba, utang piutang, kecurangan dalam takaran, ukuran dan timbangan dsb.

Meneruskan Misi Nabi
Melihat praktik kehidupan Nabi sebagai seorang pedagang, dapat dipastikan pedagang (dan pengusaha) sekarang adalah pengikut jejak Nabi. Dengan berbagai jenis barang dan jasa yang diperjualbelikan, mereka membantu masyarakat konsumen memenuhi segala kebutuhan sekaligus pedagang itu sendiri mampu hidup dari keuntungan yang diperoleh.

Namun keteladanan Nabi dalam berdagang tidak berhenti pada aktivitas jual beli. Di saat yang sama beliau juga mengutamakan dakwah. Artinya, berdagang hanya alat untuk mencari penghidupan. Sasaran utamanya adalah berdakwah, dengan mengajarkan cara berdagang yang benar. Di sisi lain, menggunakan hasil dagang sebagai modal dakwah. Praktis ketika diangkat sebagai Rasul, kekayaan beliau bersama Khadijah lebih banyak digunakan menyukseskan dakwah. Tidak terhitung beliau menolong orang yang membutuhkan bantuan, menjamu orang makan, memelihara dan memerdekakan hamba sahaya, dsb. Bahkan ketika Bani Hasyim diboikot kaum Quraisy, kekayaan Nabi ini pula menjadi penopang logistik muslim.

Langkah Nabi ini kemudian diikuti pula oleh juru dakwah . Tersebarnya Islam di Nusantara selain disiarkan ulama, sebagian besar justru didakwahkan pedagang. Ini menunjukkan, pedagang dahulu senantiasa mengemban misi suci dalam aktivitas ekonominya yakni sambil berdakwah. Hal ini dapat pula dilihat pada langkah Habib Abdurrahman al-Kaderi cs yang berjasa menyiarkan Islam di Pontianak dan Sambas, Kalimantan Barat. Awalnya, beliau berdagang sambil berdakwah. Begitu pula dengan Syeikh Abdurrahman Siddiq al-Banjari. Sebelum diangkat menjadi Mufti Indragiri beliau aktif berdagang permata, bolak balik Martapura - Jawa dan Sumatra sambil berdakwah.

Kewajiban Sekarang
Menjadi juru dakwah sekaligus pedagang di masa sekarang mungkin langka. Namun banyak cara yang bisa dilakukan pedagang dan pengusaha agar profesinya sejalan bahkan menunjang kemajuan agama. Pertama, barang dan jasa yang diperdagangkan hendaknya sesuai ajaran agama, tidak menjual sesuatu yang diharamkan. Misalnya, pedagang tidak menjual rok mini walau laku dan menguntungkan, karena hal itu jika menjadi tren mengundang dosa.

Kedua, pedagang jangan melakukan kecurangan seperti pengoplosan, penipuan, penimbunan dan permainan harga. Pedagang besar jangan mengeksploitasi dan mematikan pedagang kecil. Bila fair play ini terjaga, berarti mereka telah menolong masyarakat. Ketiga, sambil berdagang tidak lupa kewajiban agama, seperti shalat fardlu tepat waktu. Keempat, perlunya pedagang menggunakan kemampuan dan kekayaannya untuk memajukan agama, membangun masjid, langgar, pondok pesantren, santunan sosial serta mendukung berbagai aktivitas keagamaan dan kemasyarakatan.

Kita terharu, karena sekarang semakin banyak pedagang dan pengusaha yang begitu peduli terhadap dakwah. Ratusan ribu bahkan jutaan rupiah per bulan disumbangkan untuk kepentingan agama dalam berbagai bentuk. Namun kita prihatin, begitu banyak orang berduit masih suka membuang-buang uang untuk maksiat, foya-foya dan sia-sia. Seandainya semua itu dialokasikan untuk agama, dakwah dan sosial, alangkah elok dan majunya agama ini. Masyarakat yang kekurangan akan dapat diberdayakan. Diceritakan di akhirat kelak banyak orang masuk surga tanpa hisab, setelah ditanya malaikat ternyata mereka senang menyumbangkan hartanya tanpa menghitung-hitung. Akhirnya Allah juga malu menghitung amalnya, jadi langsung saja diberi bonus surga. Semoga kita segera sadar, sehingga apa pun profesi kita semuanya berguna bagi agama dan masyarakat. Amin.

Oleh: Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !