17 August 2008

Filled Under:

Perdagangan yang Islami

PERDAGANGAN merupakan jenis kegiatan ketiga sesudah masyarakat nomad, masyarakat pertanian, dan pertukangan. Kegiatan perdagangan sudah terjadi sejak zaman kuno sejak silent trade atau perdagangan yang membisu karena komunikasi dengan bahasa berbeda belum dapat dilakukan terutama di daerah Mediteranian.

Inti berdagang adalah mencari keuntungan dengan membeli lebih murah dan menjual dengan harga lebih mahal. Agama Islam menegaskan, menghalalkan berdagang dan mengharamkan riba (QS 2: 275). Mencari untung dalam perdagangan dalam konsep Islam tidak terbatas pada keuntungan materi saja tetapi juga keuntungan yang bersifat nonmateri serta keuntungan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Dalam berbagai buku fikih Islam, secara garis besar diberikan tuntunan berdagang yang sesuai dengan tuntunan agama. Secara garis besar, intinya meliputi, pertama, penjual dan pembeli, yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat, secara sukarela, dan bukan pemboros. Kedua, uang dan benda yang dibeli suci dari najis, ada manfaatnya, bukan yang tabzir, barangnya dapat diserahkan, barangnya jelas sehingga tidak terjadi penipuan. Barangnya adalah kepunyaan pemiliknya atau oleh orang yang diberi kuasa pemiliknya (bukan curian atau yang bukan miliknya), dan ada ijab kabul sekalipun tidak harus dengan kalimat (dapat dengan isyarat atau tindakan tertentu).

Hal tersebut bersifat normatif yang dalam pelaksanaannya bisa menyesuaikan dengan keadaan, yang penting tidak ada unsur-unsur penipuan.

Di samping itu, ada jual beli yang dilarang antara lain menjual barang dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga umum, membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiar, menghambat orang dari desa yang akan menjual barangnya di pasar (orang dari desa yang kemungkinan tidak tahu harga pasar dari barang yang akan dijual) sehingga barangnya dijual terlalu murah, membeli barang untuk ditimbun atau spekulasi, jual beli barang untuk maksiat, jual beli yang bersifat mengecoh seperti mengurangi timbangan dan menjual barang yang sudah kedaluwarsa.

Islam memberikan tuntunan lengkap untuk menghindari transaksi perdagangan yang penuh tipu muslihat akibat keserakahan manusia, persaingan yang makin ketat, takut mengalami kerugian, dan sebagainya.

Ada sebuah nasihat dari Luqmanul Hakim pada anak-anaknya, "Hai anakku, berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha-usaha halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan cara halal tidak akan menjadi miskin, kecuali bila telah dihinggapi tiga macam penyakit, yakni tipis kepercayaan agamanya, lemah akalnya, dan hilang kesopanannya."

Karena itu, ada sebuah hadis yang menyatakan pedagang yang jujur dan dapat dipercaya termasuk dalam golongan para Nabi, orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada (Riwayat Tarmizi, Darimi, dan Daruqutni). Berhati-hatilah menjadi pedagang karena memudahkan mereka menjadi pedagang yang tidak jujur alias pembohong dan menjadi bakil. Semua itu termasuk sifat yang dibenci Allah dan akan membawa sifat-sifat buruk lain.

Hadis lain menyatakan segala sesuatu yang halal dan haram sudah jelas tetapi di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar dan tidak diketahui kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati terhadap hal-hal yang meragukan/syubhat, berarti telah menjaga agama dan kehormatan diri. Akan tetapi, barang siapa mengikuti hal-hal yang meragukan berarti telah terjerumus pada hal yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan binatangnya di ladang yang terlarang dan membiarkan binatang itu memakan rumput di situ. Setiap penguasa mempunyai peraturan yang tidak boleh dilanggar dan Tuhan melarang segala sesuatu yang dinyatakan haram (Bukhari dan Muslim).

Dalam buku Muhammad sebagai Seorang Pedagang, ada beberapa pengantar yang perlu kita perhatikan. Antara lain dari Mar'ie Muhammad, ketika itu sebagai Menteri Keuangan RI, mengemukakan, Muhammad SAW dalam kurun waktu sebelum diangkat menjadi Nabi telah meletakkan dasar-dasar etika, moral, dan etos kerja yang mendahului zamannya.

Dasar-dasar etika bisnis tersebut telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang Nabi wariskan semakin mendapat pembenaran akademis pada penghujung abad ke-20 atau awal abad ke-21. Prinsip bisnis modern, seperti customer oriented, strife for excellent, kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan sehat, dan kompetitif, kesemuanya telah menjadi gambaran pribadi dan etika bisnis Muhammad SAW ketika masih muda. Kemudian analisis pengantar dari KADIN, yaitu Aburizal Bakrie (sekarang Menko Perekonomian) menyebutkan, bila sistem ekonomi modern cenderung berpikir dikotomis antara sistem kapitalisme dan sosialisme maka secara konseptual dalam Islam terdapat sintesis antara keduanya yang kemudian ditransendensikan. Artinya, keuntungan dan kemakmuran materi bukan ditempatkan sebagai tujuan terakhir melainkan sebagai sarana untuk tujuan yang lebih agung lagi yang jangkauannya bahkan melewati batas bisnis duniawi.

Logika itu akan mudah ditemukan dalam Alquran yang kadang kala menggunakan ekspresi bahasa dagang namun memiliki jangkauan dan maksud lebih jauh lagi. Saudara Syafii Antonio melihat sifat-sifat Rasulullah, yaitu sidik, amanah, fathonah, dan tablig sebagai nilai-nilai kenabian di bidang bisnis dan manajemen sebagai berikut:

Dari penjelasan singkat di atas, dengan mudah dapat kita tangkap bahwa Islam telah memberikan tuntunan yang jelas bagaimana menjadi seorang pedagang yang bisa sukses sekaligus dengan cara-cara halal. Namun, setidaknya ada dua hal yang perlu dipermasalahkan dan perlu mendapat jawabannya, yaitu apa sebab masih banyak pedagang-pedagang yang beragama Islam kerap melanggar hal-hal yang dilarang agama, seperti mengurangi timbangan, tidak fair dalam menawarkan barang dagangannya, tidak tepat janji, dan masih banyak hal yang menyebabkan citra sebagai pedagang muslim berada di bawah pedagang nonmuslim.

Secara umum ada dua penyebabnya, yaitu kurang mengenal psikologi pembeli/konsumen, unit usahanya kecil, bahkan mungkin harus membeli barang dagangannya dengan utang, biaya tinggi, kurang mengenal atau kurang menaati tuntunan agamanya sehingga tidak mampu bersaing dengan unit usaha yang lebih besar.

Ketaatan pada agama yang lemah menjadi gejala yang banyak terjadi dalam kehidupan nyata. Hal itu karena sanksi pelanggaran terhadap agama hanya bersifat moral. Karena itu, tingkat keimanan dan besarnya cobaan yang bersifat materiil sangat berpengaruh. Dalam buku Etika Bisnis dalam Islam, Dr Mustaq Ahmad menjawab sebuah pertanyaan yang sangat vital tentang apa yang menjadi karakter perilaku bisnis seorang muslim. Dia menjawab, "Alquran telah meletakkan fondasi nilai-nilai normatif yang sangat komprehensif yang memberi petunjuk seorang muslim dalam perilaku bisnisnya."

Perilaku mereka hendaknya berfondasi atas rasa takut pada Allah SWT. Takwa dalam mencari rida-Nya dalam rangka memenuhi kebajikan dan keluhuran budi dengan niat yang sublim (agung) sebagai mahluk Allah yang mulia. World View Islam menekankan arti penting hari akhir/kiamat. "Pada hari itu, kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada kami tangan mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka terhadapa apa yang dahulu (di dunia) mereka usahakan" (Q:36;65).

Sekali lagi, masalah keimanan dan besarnya cobaan sangat besar pengaruhnya pada akhlak manusia termasuk para pedagang. Dari segi sifat kewirausahawannya, masih perlu ditingkatkan. Dengan persaingan yang semakin ketat menghadapi para pedagang yang lebih besar dan tumbuh berkembangnya toko-toko serbaada dan toko swalayan yang suasananya lebih sejuk, barangnya lebih baik, dan harga yang jauh lebih murah, para pedagang kecil semakin
(Oleh: Prof Drs H Dochak Latief - (Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta)

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !