15 November 2012

Filled Under:

Aplikasi Prinsip Murabahah dalam Kredit Syariah Kendaraan Bermotor

Ketika memutuskan untuk membeli sebuah kendaraan, tentu kita akan dihadapkan dengan pilihan apakah akan membeli secara tunai ataukah secara mengangsur/kredit. Jika kita lihat, kendaraan murupakan barang yang nilai harganya semakin lama-semakin turun, maka jika anda memiliki cukup dana, sebaiknya belilah secara tunai. Jika tidak, maka ambilah kredit dengan jangka waktu sependek mungkin. Selanjutnya mungkin anda akan dihadapkan dengan pilihan, apakah memilih kredit dengan sistem konvensional ataukah dengan kredit syariah.

Kredit dengan prinsip syariah jauh lebih menguntungkan daripada kredit secara konvensional. Perbedaan yang mendasar tentu pada sistemnya yang disesuaikan dengan syariah/hukum Islam yang sama sekali tidak diragukan keabsahannya baik bagi Ummat Muslim, maupun non-muslim. Sistem syariah tidak menghendaki adanya unsur “Maghrib” dalam suatu transaksi keuangan (maysir=judi, gharar=ketidakpastian, riba=bunga dan bathil=jahat/tidak baik). Berbeda dengan sistem konvensional yang menerapkan bunga/riba. Dengan menggunakan system syariah, dipandang lebih adil di sisi pemilik dana (bank) dan juga di sisi nasabah.

Kredit syariah diperbolehkan dalam fikih muammalah karena basis akadnya menggunakan prinsip jual/beli. Kredit syariah adalah membeli barang dengan harga berbeda antara pembayaran tunai dengan pembayaran tenggang waktu. Karena Islam juga mengakui adanya asumsi economic value of money. Akad ini dikenal dengan bai bit taqshid atau ihu bits-tsaman ajilatau biasa dikenal dengan bai al-murabahah, yaitu jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati (Harga pokok + profit margin).

Landasan syariahnya diantaranya adalah, firman Allah dan sabda Rasulullah saw. Berikut:
“… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” (QS Al-Baqarah:275)

Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual-beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

Murabahah adalah perjanjian/akad jual-beli antara pihak bank sebagai penjual dengan nasabah sebagai pembeli. Dalam hal ini, pihak bank membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah untuk kemudian menjualnya dengan harga perolehan yang ditambahkan dengan keuntungan yang telah disepakati bersama antara pihak bank dan nasabah pada saat akad dan nilai ini tetap (tidak berubah).

Dalam transaksi murabahah pembeli boleh memberikan uang muka (urbun) kepada pihak penjual (bank) di saat akan menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Uang muka adalah adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada penjual sebagai tanda bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut dan nilai uang muka akan mengurangi nilai kredit.

Sebagai ilustrasi,

Kang Sodiq berminat untuk membeli sebuah mobil pickup untuk kepentingan usaha peternakan kambing dan dombanya. Mobil tersebut mempunyai harga perolehan (harga beli + biaya balik nama dan biaya lain-lain) sebesar Rp. 100 juta. Pada saat ini Kang Sodiq hanya memiliki uang sebesar Rp. 20 juta dan menginginkan pembayaran secara angsuran sebanyak 24x. Untuk mengatasi masalah tersebut, beliau disarankan saudaranya untuk menghubungi bank syariah “X” untuk mendapatkan solusi, kemudian bank syariah tersebut menawarkan solusi dengan akad murabahah, yakni Bank syariah menetapkan keuntungan (misalnya) sebesar Rp. 10 juta dan kang Sodiq memberikan uang muka sebesar Rp. 20juta, sehingga harga jual mobil tersebut kepada nasabah menjadi Rp. 100 + 10 – 20 = 90juta. Karena pembayaran mobil tersebut diangsur/cicil tiap bulan selama 24 bulan, maka angsuran perbulan menjadi Rp. 3,75juta (besar cicilan ini tetap selamanya).

Syariat memastikan agar masing-masing pihak sama-sama untung. Bagi nasabah, pembiayaan dengan prinsip syariah menawarkan keuntungan dengan angsuran yang tetap tanpa dipengaruhi oleh perubahan tingkat bunga yang sewaktu-waktu dapat terjadi disebabkan oleh perubahan kondisi ekonomi. Sedangkan bank syariah diuntungkan dengan pastinya pendapatan yang telah ditentukan di awal.


Dalam sistem keuangan berbasis prinsip syariah bagi nasabah yang dianggap wanprestasi/gagal dalam menyelesaikan utangnya karena benar-benar sudah tidak mampu secara ekonomi dan bukan karena kesengajaan padahal ia mampu, maka pihak bank harus menunda tagihan utang sampai dengan dia mampu kembali. Biasanya dengan melakukan rescheduling terhadap utang nasabah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT,

“Dan jika (orang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia berkelapangan…” (QS. Al-Baqarah:280)

Sedangkan terhadap yang sengaja melalaikan kewajibannya padahal ia mampu, bank dapat memberikan pinalti/denda kepadanya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. Bahwa: “Yang melalaikan pembayaran utang (padahal ia mampu) maka dapat dikenakan sanksi dan dicemarkan nama baiknya”

Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak membebankan bunga harian ketika atas keterlambatan tersebut. Oleh bank syariah keterlambatan tersebut akan dikenai denda, namun denda tersebut tidak diakui sebagai pendapatan oleh bank, melainkan sebagai infak/dana yang akan digunakan untuk fakir miskin atau membiayai kegiatan sosial. Wallahu A'lam Bishawab 
[MAK]


0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !