21 October 2008

Filled Under:

Kemajuan Ekonomi, Militer, Politik dan Pemerintahan

Dilihat dari sudut pandang sosio-ekonomi, secara umum pada era pemerintahan Khulafaur-Rasyiddin, tidak terkecuali pada era pemerintahan Abu Bakar, boleh dikatakan tidak banyak dijumpai persoalan-persoalan tentang kejahatan dalam aktivitas ekonomi. Hal ini tidak terlepas dari masih kuatnya peran kontrol dari para pemimpin (ulil amri). Kalaupun ada masalah, misalnya ada yang mempermainkan harga di pasar, pada umumnya segera bisa diselesaikan para sahabat.

Para khalifah sebagai sahabat menyaksikan dari dekat bagaimana iman dan wahyu telah membimbing Nabi untuk selalu bertindak dalam batas-batas kebenaran, etika, moral, dan kemanusiaan. Atas bimbingan iman dan wahyu tersebut Nabi menjadi sosok ideal untuk diteladani dan ditiru dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berbagai kegiatan berekonomi. Dari hasil pengamatan langsung dari aktivitas berbisnis yang dilakukan Rasulullah para sahabat pada era Khulafaur Rasyiddin bisa mencontoh etika berbisnis yang baik.

Seperti halnya masa Rasulullah, pada era Abu Bakar kondisi perekonomian masih relatif sederhana. Walaupun daerah kekuasaan Islam makin luas, tetapi kehidupan pada waktu itu masih sangat terbatas, dimana kegiatan ekonomi masih didominasi oleh sektor pertanian dan peternakan. Begitu juga kegiatan konsumsi dan perdagangan masih relatif sederhana. Karena kehidupan ekonomi pada waktu itu masih sederhana, maka yang diatur pada era kenabian dan juga pada era Khulafaur-Rasyidin hanyalah masalah harta, riba, zakat, transaksi, pertukaran, harga, atau mudarabah.

Walaupun Abu Bakar sebagai khalifah Islam yang pertama tidak begitu berhasil dalam bidang ekonomi, namun kehebatan beliau sebagai penerus Nabi dalam memimpin umat Islam tidak perlu diragukan. Beliau tidak hanya berhasil memadamkan gerakan-gerakan nabi palsu dan pembangkang pajak yang mengancam kesatuan dan persatuan umat Islam serta mentransformasikan Pendapatan Nabi menjadi Pendapatan Publik, tetapi juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam dan menata organisasi pemerintahan ke arah yang lebih baik.

Dari segi militer, Abu Bakar berhasil melakukan perluasan wilayah. Untuk ekspansi yang pertama beliau mengirim Khalid bin Walid ke Irak, dan berhasil menguasai al-Hirah tahun 634M. Selanjutnya beliau mengirim ekspansi ke Syria di bawah empat orang panglima, yaitu Abu Ubaydah, Amru bin ’Ash, Yazid ibnu Abi Sufyan dan Syurahbil. Dengan demikian pada masa Abu Bakar wilayah kekuasaan negara Islam tidak terbatas di Madinah saja, tetapi makin luas hingga mencapai seluruh Arabia, juga Irak dan Syria.

Sebagai pemimpin Islam yang baru Abu Bakar melanjutkan gaya pemerintahan sentralistik yang diwariskan Nabi, dimana selain sebagai pemimpin agama, beliau juga menjadi pemimpin di bidang politik, pemerintahan, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Pendeknya semua kekuasaan berpusat di tangan khalifah.

Namun demikian, dalam memerintah Abu Bakar tidak bekerja sendirian, tetapi dibantu oleh para sahabat lainnya. Sebagaimana yang juga ditiru dari Nabi, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat bermusyawarah dalam memutuskan perkara-perkara yang dianggap penting dan strategis. Sebagai contoh, Umar bin Khattab yang terkenal tegas diserahi urusan kehakiman dan pembagian zakat.

Di bawah kepemimpinan Abu Bakar, kaum Quraisy mampu menjalankan bidang-bidang yang sebelumnya kurang mereka kenal, seperti pemerintahan, organisasi dan diplomasi, sebagaimana mereka juga mahir dalam menjalankan bisnis komersil moyang mereka. Selain itu masih banyak lagi jasa Abu Bakar dalam perjuangan Islam. Salah satu di antaranya ialah bahwa beliau dinilai sangat berjasa mengumpulkan ayat-ayat Alquran dalam sebuah mushaf.

Seperti Nabi Muhammad dan sahabat besar lainnya, Abu Bakar juga memiliki sisi-sisi kepribadian yang cukup menarik. Di antaranya, Abu Bakar adalah seorang bangsawan Makkah yang kaya raya, pemurah lagi peramah. Seperti halnya Muhammad, Abu Bakar juga seorang pedagang.

Bahkan pada hari pertama sesudah diangkat sebagai khalifah, konon Abu Bakar masih menjalankan aktivitas sebagai pedagang pakaian di pasar. Sehubungan dengan kenyataan bahwa Abu Bakar yang selain seorang pemimpin tetapi sekaligus juga memiliki profesi sebagai pedagang ini, layak diajukan sebuah pertanyaan: “Bolehkah seorang pedagang menjadi pemimpin?”

Pertanyaan seperti ini perlu diajukan, sebab pada masa sekarang terlihat sebuah gejala-gejala umum dimana para pedagang berebut kursi di DPR atau DPRD atau bahkan ada pula yang langsung menjadi wakil presiden, menteri, gubernur, wali kota atau bupati. Pada era reformasi seperti yang kita hadapi sekarang hal ini dimungkinkan, sebab dengan modal kekayaan yang dimiliki, mereka bisa “membeli sampan” dari partai-partai tertentu untuk mencalonkannya menjadi eksekutif atau legislatif, bahkan juga mampu “membeli suara” dari pemilih yang tidak tahan godaan duit. Yang dikhawatirkan, setelah menduduki posisi mereka berusaha “mengembalikan” modal investasinya.

Tetapi kecurigaan seperti dijelaskan di atas tidak pantas bagi Abu Bakar. Walaupun beliau berlatar belakang seorang pedagang, tetapi selama masa-masa perjuangan Islam, Abu Bakar tidak pernah kedapatan berusaha memperkaya diri dan keluarganya. Melainkan, dengan harta kekayaannya beliau berusaha mengatasi kesulitan ekonomi umat Islam.

Selain itu hartanya juga digunakan untuk membebaskan sejumlah budak yang disiksa tuannya karena keimanan mereka terhadap Islam. Salah seorang dari budak yang dibebaskan Abu Bakar adalah Bilal, yang belakangan terkenal dengan profesinya sebagai mu’azzin Nabi. Setelah menjadi khalifah, Abu Bakar tidak mau mengambil uang sepeserpun dari kas negara. Ketika meninggal, beliau hanya meninggalkan sepasang pakaian, seekor unta dan seorang budak kepada ahli warisnya.

Berkat kepemimpinan Abu Bakar, persatuan dan kesatuan kaum Muslim yang telah dirintis Nabi dapat dipertahankan. Sayang, sahabat Nabi dan pejuang Islam ini tidak memerintah dalam waktu lama. Setelah menjadi khalifah tidak sampai tiga tahun, beliau meninggal tanggal 22 Jumadil Akhir 13H/23 Agustus 634M. Untungnya, sebelum wafat beliau berhasil melakukan musyawarah dengan para sahabat atau orang-orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ’aqli) untuk menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti beliau. Tentang Umar, akan kita kupas pekan depan. (Deliarnov, dosen Fakultas Ekonomi Unri dan Program Pasca-Sarjana UIN Suska Riau.)

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !