Bayangkan sebuah kota yang masyarakatnya tidak peduli dengan benar atau salah. Kalau mengangkat pemimpin, mereka sudah terbiasa dengan suap. Untuk mendapatkan sebuah proyekpun, mereka tidak segan-segan untuk menyuap. Mereka juga memiliki istri satu, tapi mereka tidak segan-segan pergi ke tempat pelacuran.
Ditengah masyarakat yang rusak itu, tiba-tiba muncul sekelompok orang yang mencoba berbuat benar. Tentu saja usaha mereka ini tidak disenangi oleh penduduk yang sudah terbiasa dengan perbuatan batilnya itu. Mayoritas masyarakat merasa tindakan segelintir orang itu membuat mereka kelihatan lebih kotor. Ini membuat mereka terlepas dari zona kenyamanan.
“Apa-apaan sih tuh orang. Sok alim dah. Kalau ada kesempatan pasti mereka sikat juga,” begitu kira-kira dalam pikiran pemimpin-pemimpin yang rusak itu.
Yang lebih parahnya, tindakan segelintir orang itu ternyata menarik simpati masyarakat secara perlahan. Masyarakat yang sebelumnya apatis dengan kebobrokan disekitar mereka menjadi bersemangat untuk mendukung orang-orang baru itu.
Fenomena ini membuat panas pemimpin-pemimpin yang sudah mapan di situ. Mereka khawatir pengaruh mereka di masyarakat lama-lama menghilang. Kalau pengaruh sudah hilang, alamat pemasukan materi melayang juga. Jadi mereka memutuskan untuk berkonspirasi untuk menghancurkan orang-orang baik itu.
“Bagimana cara kita menghancurkan citra mereka ya?” tanya pemimpin A.
“Mudah saja. Kita perhatikan tingkah mereka secara seksama. Pada suatu hari pasti salah seorang dari mereka berbuat kesalahan. Nah kesalahan itu kita ‘blow up’ dengan media kita,” jawab pemimpin B.
Yah namanya saja manusia. Sesuia dengan dugaan, salah seorang dari orang baik-baik itu melakukan sebuah perbuatan khilaf. Tanpa ba bi bu lagi, perbuatan itu disorot habis-habisan dalam media massa mereka . Tujuan mereka sudah jelas, jatuhkan citra orang itu hingga serendah-rendahnya.
Begitulah nasib PKS sekarang ini.
Pada awalnya mereka mencoba membuat perubahan.
Ketika anggota dewan lain mendapat jatah duit antah-berantah, anggota dewan PKS menolaknya. Penolakan PKS ini ternyata tercium oleh media massa, sehingga mereka ramai-ramai memberitakan hal itu. Citra PKS menjadi naik. Pada kesempatan lain, PKS dipaksa menerima uang itu. Karena merasa uang itu tidak layak mereka terima, maka dibagikanlah uang itu kepada fakir miskin. Lagi-lagi media menyoroti tingkah polah PKS itu. Belum lagi, sikap pejabat-pejabat PKS yang menolak fasilitas mewah dari kantor dewan. Macam-macam komentar yang diterima.
“Ah munafiklah PKS itu, pasti tujuan mereka hanya mencari suara saja,” komentar orang-orang yang merasa terancam dengan perbuatan PKS.
Dengan motonya yang anti korupsi, PKS berhasil memperoleh suara yang lumayan pada pemilu sebelumnya. Mereka juga berhasil mendudukkan beberapa mentri dan kepala daerah.
Tentu saja kemajuan PKS membuat gerah orang-orang yang tidak suka dengan kebangkitan politik Islam.
“Harus ada cara untuk menghancurkan citra PKS,” tegas mereka.
Sejak itulah berbagai skandal menerpa PKS. Walaupun tidak semuanya benar. Yang penting citra mereka sudah terlanjur tercoreng.
Dimulai dengan tuduhan melihat gambar porno selama sidang, tuduhan korupsi di bank Century, tuduhan pejabat PKS bergelimang kemewahan, dll.
Media massa dengan senang hati menyuarakan skandal-skandal itu. Sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Tujuan menaikkan penjualan oplah dan menhancurkan citra PKS tercapai pada saat yang bersamaan.
Namun tuduhan yang paling kerap disuarakan adalah ketidakkonsistenan PKS. Sekali bilang begini, sekali bilang begitu. PKS dianggap hanya mencari jabatan saja dengan berkoalisi dengan pemenang pemilu.
Kalau ditanya apakah ada yang salah dengan hal itu? Mereka menjawab tentu saja salah, kan orang Islam dilarang mencari jabatan. Anehnya standar yang berbeda diterapkan kepada partai non-Islam.
Padahal kalau dilihat secara seksama apa yang PKS coba lakukan adalah mencoba berbuat walaupun sedikit. Kalau ada kesempatan menjadi mentri, maka PKS akan mengambilnya. Pengalaman menjadi mentri-mentri di pemerintahan sekarang adalah pengalaman yang sangat berharga. Begitu juga pengalaman menjadi gubernur, walikota, bupati, dsb. Selain itu mereka juga bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Contohnya walaupun tingkah PKS dianggap tidak etis ketika mengkhiati sekretariat bersama dalam beberapa isu, itu tidak lain adalah sebuah usaha untuk mengontrol pemerintah sekarang ini.
Bagi orang yang apriori, tingkah PKS ini dianggap sebagai upaya mencari suara, upaya menaikkan citra, sebuah sikap munafik, dll. Bagi orang mengerti, sepak terjang PKS ini ya biasa-biasa dalam dunia politik. Yang penting untuk dilihat apakah pejabat-pejabat dan angggota-anggota dewan dari PKS itu masih bersih atau tidak? Apakah mereka masih memperjuangkan kepentingan rakyat atau tidak? Masalah mereka kelihatan bersikap tidak konsisten, itu hanyalah cara berpolitik mereka, dimana mereka berusaha mencari yang terbaik dari kondisi yang terjelek.
Mencari yang terbaik dari yang terjelek. Begitulah sikap PKS dalam pilkada Jakarta. PKS sudah berusaha mengajukan calonnya yang bersih, tapi sayangnya masyarakat lebih suka memilih yang lain. Masyarakat tidak peduli latar belakang agama dan pemahaman agama Islam dari calon yang dipilih. Akibat pilihan masyarakat itu, yang tersisa adalah yang terjelek dari kacamata Islam.
Bagi PKS tindakan golput sangatlah tidak bertanggung-jawab sama sekali. Golput tidak akan memperbaiki keadaan bahkan membuat lebih buruk. Jadi untuk mengurangi efek keburukan itu maka PKS harus memutuskan untuk memilih yang baik dari yang terburuk.
Sebuah masukan menarik dari bung Okalaksana Sadikin yang berasal dari komentar-komentar di bawah ini.
Secara internal pastinya ada musyawarah , apa yang sudah disepakati itu yang harus ditaati. Tidak ada paksaan atas keputusan yang sudah ditetapkan. Yang ada hanya keikhlasan walaupun banyaknya cercaan. Karena percaya orang yang mengambil keputusan adalah orang yang ikhlas. Mudah memang menghakimi orang lain namun untuk sebuah keyakinan terkadang keputusan yang diambil adalah hitam putih, sehingga akan selalu ada polarisasi. Apapun yang PKS ambil pasti menjadi cercaan. Dukung Foke reaksinya seperti ini, dukung Jokowi dianggap gak setia sama ideologi Islam, kalau gak milih dianggap kaki dua… Foke belum tentu menang tapi setidaknya PKS telah mengambil sikap bahwa memilih pemimpin yang muslim itu harga mati. Foke ibaratnya suami yang selingkuh yang ngajak rujuk sementara Jokowi adalah calon suami yang keren tapi gak mau diajak menikah. Jokowi tidak mau menandatangani kontrak politik dengan PKS: bersedia untuk menyelesaikan sampai tuntas masa jabatannya (karena ada rumor bahwa jokowi akan digaet prabowo untuk menjadi cawapres di 2014) dan juga jaminan untuk kelangsungan dakwah di Jakarta. Ke depan Foke juga belum tentu mematuhi janjinya (sama seperti sebelumnya) namun paling tidak dia telah berani berakad. Bagi warga jakarta inilah saatnya mengambil sikap semua ada konsekuensinya. Bagi saya siapapun yang menang perlu didukung secara positif. Pembangunan Jakarta adalah tanggung jawab bersama bukan semata tanggung jawab seorang gubernur.
Apa boleh buat. Begitulah demokrasi.
sumber; http://politik.kompasiana.com/2012/08/14/mencoba-memahami-tindakan-pks/
sumber; http://politik.kompasiana.com/2012/08/14/mencoba-memahami-tindakan-pks/
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !