Untuk menambah wawasan kita tentang kearifan lokal Indonesia, khususnya Jakarta/betawi. Jago Betawi adalah sebutan untuk guru maen pukulan (sebutan untuk silat di betawi) di Betawi. Jago atau jagoan ini muncul pada akhir abad ke-19 sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda. Jago Betawi biasanya memegang teguh hukum islam dan kuat akidahnya, mereka tidak mau berjudi, merampok, memperkosa, minum-minuman keras atau perbuatan tercela lainnya. Jago-jago ternama yang pernah ada diantaranya; Ja'man dari Kampung Sao Besar atau Sawah Besar, Sabeni dari Kampung Tenabang atau Tanah Abang serta Mirah dari Kampung Marunda. Selain itu, jago juga merupakan sebutan untuk orang yang pandai berkelahi (maen pukulan) dan bersifat mengayomi masyarakat. Kepemimpinan Jago ini berada di luar jalur kepemimpinan Islam, jadi ada dalam garis tradisional.
Sebagai identitas bahwa seseorang disebut jago terdapat pakaian atau busana khusus yang seringkali dikenakan. Pada zaman dahulu para jagoan Betawi biasa memakai celana panjang berwarna kuning atau krem, jas tutup berwarna putih, bersarung ujung serang, peci hitam atau destar, kaki berterompah, dan golok disisipkan di pinggang tertutup jas serta kadang menmakai gelang akar bahar di tangannya. Untuk zaman sekarang biasa memakai celana pangsi warna apa saja, baju gunting cina yang warnanya disesuaikan dengan warna celana, sarung diselempangkan atau disampirkan di pundak untuk shalat atau menangkis serangan musuh, ikat pinggang besar dari kulit, peci hitam, terompah dari kulit, dan golok disisipkan di luar pada ikat pinggang.
Silsilah Jagoan Betawi baru dapat ditelusuri pada akhir abad ke-19 meski Aki Tirem sudah mempelopori dunia jagoan pada abad ke-2 Masehi. Kalau Kampung Meester (Jatinegara) menjadi benih persemaian guru-guru (ulama) Betawi, maka kebanyakan jagoan Betawi berasal dari kampung Kemayoran. Di kampung ini dikenal seorang jago maen pukulan (pencak silat) bernama Murtado. Di Kampung Kwitang pada awal abad ke 19 dikenal jagoan bernama Bang Puasa. Di kampung Rawabelong ada jagoan bernama Pitung. Generasi setelah Murtado di Kampung Kemayoran adalah Haji Ung, di Kampung Sao Besar dikenal Ja'man, di Condet dikenal Haji Entong Gendut. Angkatan berikutnya adalah Jani dan Sabeni dari Tenabang.
Generasi selanjutnya adalah H. Darip dari Kampung Klender, Mujitaba dari Kampung Petamburan, dan Mat Item dari Kampung Rawabelong. Pada tahun 1940-an muncul nama H. Jaelani (Mat Jaelani di Kwitang), H. Ejen di Pasar Minggu, Derahman Jeni di Tenabang, Deraman Deos di Sao Besar, dan Saibun di Kemayoran.
Pada tahun 1950 muncul nama Imam Syafi'i dan Ahmad Benyamin alias Mat Bendot dari Kampung Senen/Tanah Tinggi, dan Bir Ali dari Kampung Cikini Kecil. Pada dasawarsa selanjutnya (1960-an) muncul nama H. Asenie dari Kampung Petamburan. Setelah era H. Asenie. Figur jagoan Betawi tidak muncul lagi. Baru pada awal abad ke-21, muncul nama seperti Bang Ucu (M. Yusuf Muhi, Tenabang). Kehadiran jagoan Betawi tersebut tentu saja dilengkapi dengan keahlian pencak silat lengkap dengan atribut golok dan seragam pakean pangsi item-item.
http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/1144
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !