21 November 2008

Filled Under:

Bisnis adalah Kepercayaan

“Cari yang haram saja susah, apalagi yang halal!” Pameo seperti ini kini seringkali kita dengar. Tentu, sebuah ungkapan yang sesat dan menyesatkan, sebab di samping mengandung keputusasaan, juga membawa ideologi bebas nilai.

Pertanyaannya, benarkah tidak diperlukan lagi nilai-nilai dalam kehidupan di era modern ini, termasuk dalam berbisnis?

Sejarah Bisnis Muhammad SAW
Al Amin. Inilah julukan yang diberikan penduduk Mekkah kepada Muhammad saw. Al Amin artinya yang dipercaya. Gelar ini diberikan karena kejujuran beliau. An Nashr bin Al Harits, musuhnya, pernah menyaksikan dan mengakui kejujuran Muhammad saw. ”Semasa dia muda kamu suka kepadanya lantaran dia paling jujur, paling lurus perkataannya, paling setia memegang janji.” Abu Sufyan, musuh beliau juga waktu itu, pernah ditanya oleh Emperor Hiraclius, “Sebelum dia membawa seruan ini, pernahkah kamu kenal dia sebagai seorang pembohong?” Jawab Abu Sufyan, “Tidak pernah sekali-kali.”

Al Amin inilah yang menjadi modal Muhammad saw ketika menjalankan bisnis. Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (Litera AntarNusa, 2002) menceritakan bagaimana Muhammad saw mendapat kepercayaan untuk menjalankan bisnis saudagar kaya raya bernama Khadijah binti Khuwailid.

Suatu waktu Abu Thalib, paman Muhammad saw, mendengar berita bahwa Khadijah mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu.

Khadijah berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu usahanya itu terus dikembangkan.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya—yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah.

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Talib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai," jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya, Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi'i-Qura, Madyan, dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru duabelas tahun.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.


Pentingnya Nilai Kejujuran

Ya, kejujuran ternyata menjadi modal sukses bagi Muhammad saw saat berbisnis. Bahkan seperti kita baca di atas, dengan kejujuran itu keuntungan yang diperolehnya menjadi berlipat-lipat.

Lantas, bagaimana dengan bisnis kita? Masih adakah nilai-nilai kejujuran di dalamnya? Jika kita masih percaya bahwa Muhammad saw adalah, uswatun hasanah (teladan yang bagus), maka kejujuran tetap menjadi sebuah nilai yang harus kita lakukan dalam berbisnis.

Selain memberi teladan kejujuran dalam berbisnis, Muhammad saw banyak memberi petunjuk dan rambu-rambu untuk menjaga kejujuran itu:

"Pedagang yang beramanat dan dapat dipercaya, akan bersama orang-orang yang mati syahid nanti di hari kiamat." (Riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim)

"Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid." (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan)

Seorang pedagang diberi janji suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta pahala yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada umumnya diliputi oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun.

Al Qur’an sendiri memberi keterangan yang jelas lewat sejarah kaum Madyan. Syahdan, penduduk negeri Madyan menganggap riba hal yang biasa, mengurangi timbangan dan takaran dalam jual beli boleh-boleh saja, saling berbohong dalam perjanjian dianggap lumrah, menipu dianggap bukan perbuatan tercela, membolak-balik hak menjadi batil biasa dilakukan. Tuhan kemudian mengutus Nabi Syuaib ke negeri Madyan untuk meluruskan perilaku buruk yang diperagakan penduduknya.

"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada seseorang melainkan menurut kemampuannya." (Al-An'am: 152)

"Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (Al-Isra': 35)

"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (Al-Muthafifin: 1- 6)


Bisnis yang Jujur Sebuah Utopia?

Saya tidak sependapat jika kejujuran dalam bisnis di era kini adalah sesuatu yang mustahil dilakukan. Justru dengan kejujuran itulah bisnis menjadi mujur. Saya akan memberi ilustrasi singkat:
Seorang pedagang salak sedang melayani pembelinya. Diperlihatkan salak yang bagus-bagus. Calon pembeli setuju, termasuk dengan harga yang ditawarkan. Celakanya, saat menimbang, bukan saja salak bagus-bagus seperti yang diperlihatkan tadi yang diberikan, melainkan juga disertakan salak yang sudah mulai busuk.

Dalam perspektif jangka pendek pedagang salak tadi, dia merasa untung karena mampu menjual salak yang busuk. Tapi bukankah dengan begitu pembeli menjadi kecewa dan enggan lagi membeli salak di tempatnya. Dalam perspektif jangka panjang, tentu pedagang salak ini rugi karena dia akan kehilangan relasi, bahkan pembeli, jika cara jualan yang menipu ini akan ditularkan pembeli yang kecewa itu dari mulut ke mulut pada orang lain.

Maka bisa kita simpulkan bahwa pedagang salak tadi tidak akan lagi mendapat kepercayaan akibat ketidakjujurannya dalam berdagang. Banyak kasus yang bisa menjadi contoh bahwa ketidakjujuran dalam bisnis justru akan merugikan. Kita perhatikan bagaimana sepinya SPBU-SPBU nakal yang biasa mengurangi literan?

Salah satu kunci sukses dalam berbisnis adalah kepercayaan; dan kepercayaan dibangun oleh kejujuran. Maka amat tepat untuk mengusung motto ini, “harga bisa ditawar, tapi tidak untuk (kualitas) bahan dan takaran”. Semoga! (Abdul Aziz, SE - Direktur CV Cakrawala Surabaya)

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !