18 November 2012

Filled Under:

Dampak Buruk Muammalah Ribawi

Islam memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan dan menghapuskan kezaliman eksploitasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bisnis dan perekonomian dengan melarang semua bentuk peningkatan kekayaan yang dilakukan tidak secara adil, sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (QS. 4:29), lihat juga QS 2:188. Salah satu kegiatan peningkatan kekayaan yang dilakukan dengan cara yang tidak benar dan tidak adil itu adalah perbuatan riba/bunga.

Definisi Riba

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan) atau bisa juga diartikan tumbuh dan membesar. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an  menjelaskan, bahwa “pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud dalam ayat Qur’an yaitu penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”.

Semakna dengan itu Badr ad-Din al-Ayni, menjelaskan bahwa “prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba perarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.” Selanjutnya yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi bisnis yang dapat menjadi alasan yang sah bagi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek. Riba dibagi menjadi dua kategori. (1) Pertama, riba an-nasi’ah, dimana penambahan yang terjadi muncul akibat adanya penangguhan, atau menunggu suatu pembayaran. (2) Yang kedua adalah riba fadhl, adalah riba ada pada pertukaran antabarang sejenis dengan kadar/takaran atau timbangan yang berbeda; misalnya 10 karat emas ditukar dengan 12 karat emas.

Riba Merupakan Dosa Besar

Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 : ”Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”

Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan : ”Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat.” (Muttafaqun Alaih).

Dampak Buruk Muammalah Ribawi

Riba dapat mempengaruhi moral dan karakter pelakunya. Perbuatan riba dapat menumbuhkan sifat egois, pelit, berhati batu dan kejam sehingga tega tanpa belas kasihan menyengsarakan dan menghancurkan manusia lainnya, terlebih mereka yang tengah mendapat musibah kesulitan.

Dalam konteks sosial, riba dapat mengakibatkan rusaknya rasa solidaritas sosial di masyarakat. Satu sama lain akan saling tidak peduli, kecuali jika tindakkannya dapat menghasilkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Kesulitan orang lain menjadi sebuah peluang emas yang harus dieksploitasi. Tentu rusaknya rasa solidaritas di masyarakat akan berujung pada perpecahan atau disintegrasi sosial.

Dalam konteks hubungan internasional, riba atau bunga menjadi alat untuk menjajah dan menguasai Negara lainnya. Penjajahan dan eksploitasi antar bangsa disembunyikan dalam bentuk pinjaman atau bantuan luar negeri dari lembaga-lembaga donor yang sebenarnya adalah kepanjangan tangan dari negara-negara adidaya. Faktanya, tidak sedikit negara-negara penerima "bantuan" ini yang mengalami kehancuran akibat besarnya jumlah utang luar negeri. Misalnya, pemerintah Indonesia yang memperoleh “pinjaman” dari lembaga-lembaga donor internasional yang “katanya” bertujuan untuk memperbaiki kondisi moneter, namun dibalik itu sebenarnya kita telah kehilangan kedaulatan ekonomi. Kita tidak lagi memiliki daya tawar terhadap apapun, apalagi pada perundingan-perundingan yang dilakukan dengan Negara yang meminjami utang.

Sungguh sudah terlalu banyak dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :
  • Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
  • Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
  • Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
  • Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
  • Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
  • Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
  • Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya? dan maukah kita menjadi orang-orang yang dibenci dan diperangi Allah dan Rasulnya lantaran bermuamalah ribawiyah? 

Ahad pagi

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !