21 November 2008

Filled Under:

Bunga dan Ekspolitasi Ekonomi

Riba dengan segala turunannya sebenarnya bukan hanya menimbulkan masalah di bidang ekonomi saja. Secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat. Orang enggan berbuat sesuatu selain yang memberi keuntungan bagi dirinya sendiri. Keperluan seseorang dianggap peluang bagi orang lain untuk meraih keuntungan. Masyarakat demikian tidak akan mencapai solidaritas dan kepentingan bersama untuk menggapai keberhasilan dan kesejahteraan. Cepat atau lambat mereka akan mengalami perpecahan.

Di mata Maulana Maududi, institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Dalam bukunya Riba, ia mengungkapkan, bunga akan menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat melalui pengaruhnya terhadap karakter manusia. Bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi kepentingan sendiri, tanpa mengindahkan peraturan dan peringatan Allah.

Tak cuma itu, bunga juga menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan sempit serta berhati batu. Seorang yang membungakan uang menurut Maududi, akan cenderung bersikap tidak mengenal belas kasihan. Misalnya saja, bila si peminjam dalam kesulitan, aset apapun yang ada harus diserahkan untuk melunasi akumulasi bunga yang sudah berbunga lagi. Ia juga cenderung kikir, dan juga tamak.

Tidak hanya dalam hubungan orang perorang, institusi bunga ternyata juga telah meretakkan solidaritas antarbangsa. Pada masa Perang Dunia II, Inggris meminta para sekutu perangnya yang lebih kaya untuk membantu keuangannya tanpa bunga. Amerika Serikat menolak memberi pinjaman tanpa bunga. Karena terdesak kebutuhan peperangan, Inggris terpaksa menerima persyaratan pinjaman tersebut, yang kemudian dikenal dengan Brettonwood Agreement.

Tak terkira betapa pedih dan marah bangsa Inggris ketika itu. Hal itu tercermin dari tulisan John Maynard Keynes, Churchil dan Dr. Dalton. Churchil menyebut perjanjian itu sebagai sebuah perlakuan dagang dan Dr. Dalton menyatakan dalam Sidang Parlemen, 'e2'80'9cKita telah memohon pinjaman tanpa bunga, tetapi kita diberi jawaban bahwa pinjaman itu bukan politik praktis.'e2'80'9d

Apa yang dialami Inggris sekitar 50 tahun lalu kini juga menimpa kita dan sejumlah negara berkembang lainnya. Saat ini utang luar negeri Indonesia, bila digabungkan antara utang pemerintah dan swasta, telah mencapai lebih dari US$120 miliar. Kita memang tidak perlu menghitung berapa bagian utang tiap jiwa rakyat Indonesia, bila beban utang itu dibagi rata kepada seluruh penduduk Indonesia, karena memang tidak demikian mekanisme pelunasannya. Namun secara tidak langsung, utang yang diwariskan pemerintahan kita di masa lalu, akan memberi beban yang tak terkira pada seluruh rakyat Indonesia entah sampai kapan.

Jebakan utang (debt trap) yang sedemikian besar 'e2'80ldblquote namun sayang tidak menghasilkan peningkatan produktivitas nasional -- ditambah bunganya, akan memaksa pemerintah kita mengalokasikan sebagian besar anggaran negara untuk membayar angsuran utang itu. Akibatnya tentu saja, standar kehidupan rakyatlah yang dikorbankan selama bertahun-tahun ke depan. Anggaran pendidikan yang semestinya bisa lebih tinggi, terpaksa digunakan untuk mencicil utang. Begitu pula dengan anggaran kesehatan, fasilitas umum dan masih banyak lagi.

Repotnya, tidaklah bisa dijamin utang berbasis bunga itu tidak akan bertambah besar . Karena meski kita telah keluar dari program IMF, belum ada fasilitas lain pengganti utang untuk meneruskan pembangunan. Maka dari itu upaya keras untuk keluar dari jebakan utang berbasis bunga ini, sekaligus mendapatkan alternatif penggantinya, semestinya menjadi prioritas kita bersama. Wallahu a'e2'80'99lam bis-Shawab.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak, tapi jangan spam !